Sab. Nov 9th, 2024

KELUARGA IBRAHIM AS: REPRESENTASI KESALEHAN PARIPURNA

By Pengurus Pesantren Sep12,2016

Oleh: Anwari Nuril Huda*

Hari ini (12/9) umat Islam di seantero penjuru dunia merayakan Idul Adha. Kalimat takbir dikumandangan sebagai salah satu bentuk tahniah kesuksesan perjalanan Nabi Ibrahim dan keluarganya saat mendapatkan cobaan teramat besar dari Allah SWT untuk menyembelih putranya.
Nabi Ibrahim As adalah satu dari lima nabi Allah yang mendapatkan gelar ulul azmi, yaitu sifat keteguhan luar biasa saat menerima dan menjalankan semua perintah-Nya. Banyak sekali kisah yang membuktikan bahwa Ibrahim memang layak menyandang gelar ulul azmi. Penyembelihan anaknya (Ismail) adalah hikayat fenomenal dalam sirah Ibrahim. Hatta umat Islam memperingatinya hingga kini.
Ibrahim dan Keluarganya
Seting suasana dan dialog antara Ibrahim dan Islamil diabadikan oleh Allah dalam al-Quran, tepatnya dalam surat As-Saaffat ayat: 99-111. Sejarah cobaan ini bermula saat Ibrahim menikah dengan Sarah. Di usia pernikahannya yang telah lama, Ibrahim belum juga dikaruniani seorang anak yang sudah lama diharapkannya. Maka dengan lapang dada, Sarah meminta suaminya untuk menikah kembali dengan seorang budak Mesir bernama Hajar. Dari pernikahan inilah Ismail dilahirkan.
Ismail tumbuh menjadi anak yang sabar, santun dan juga patuh. Ibrahim serta keluarga sangat menyayanginya. Hingga sampai pada suatu malam, sang bapak (Ibrahim) mendapatkan suatu mimpi untuk menyembelih anak semata wayangnya. Isi pesan mimpi tersebut tidak lantas dilaksanakan oleh Ibrahim, karena bagaimana pun ia masih ragu apakah mimpinya datang dari Allah atau bukan. Ternyata, perintah itu dimimpikan berkali-kali hingga akhirnya Ibrahim yakin bahwa hal tersebut memang datang dari Allah SWT dan wajib untuk dilaksanakan.
Keesokan harinya, Ibrahim mendatangi putranya dan menyampaikan perintah dari Allah, “Wahai Anakku sesungguhya aku melihat dalam mimpiku bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?” Ismail –dalam sebuah riwayat saat itu berumur sekitar tujuh tahun– kemudian menjawab, “Wahai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”
Menurut keterangan sejumlah kiai pesantren dan ulama salaf, saat prosesi penyembelihan hendak dilaksanakan, Ismail mengajukan beberapa permintaan kepada ayahnya, Ibrahim. Permintaan tersebut adalah: pertama, agar sang ayah mengikatnya kuat-kuat supaya Ismail tidak meronta-ronta dan menyusahkan ayah; kedua, agar sang ayah melepaskan pakaiannya supaya tidak terkena darah yang akan mengurangi pahala dan membuat ibunya bersedih jika melihat ceceran darah pada bajunya; ketiga, agar sang ayah mempertajam pedang dan mempercepat penyembelihannya agar meringankan penderitaan dan rasa sakit; dan keempat, agar sang ayah menyampaikan salam Ismail kepada ibunya, memberikan pakaian Ismail kepadanya agar ketika ia merasa rindu kepada Ismail, baju itu mampu menghiburnya.
Meneladani Ibrahim AS
Keluarga Ibrahim AS adalah protret bagaimana seharusnya keluarga umat Islam beribadah dan menata hati. Dengan lain kata, kita diharapkan mampu menjadikannya sebagai prototype dalam kehidupan kita saat ini. Kita semua sadar dan sepakat bahwa Allah telah memberikan jutaan contoh kehidupan seseorang yang dirahmati dan diberkahi oleh-Nya serta jutaan contoh kehidupan yang diadzab oleh-Nya. Hemat penulis, yang demikian itu agar umat manusia menjadikannya ibrah, sehingga kehidupan umat Islam mengalami progresivitas dari masa ke masa. Kita tidak hanya mempelajari sejarah, tetapi kita juga belajar dari sejarah.
Keberadaan sejarah tidak cukup sekadar untuk dirayakan semata, apalagi sebatas selebrasi tanpa arti berlebih (latah). Kita harus mampu menangkap pesan moral dari sejarah yang kita ketahui, salah satunya adalah Hari Kurban.
Hemat penulis, ada beberapa hal yang bisa kita tangkap dari kisah di atas, di antaranya: pertama, sabar. Sepanjang kita masih hidup, maka bisa dipastikan kita akan terus-menerus mendapatkan ujian dan cobaan dengan intensitas berbeda-beda, baik fisik (sakitnya anggota badan atau masalah finansial) maupun cobaan psikis (hasud, intimidasi perasaan, susah fokus, malas, dll). Sering kita saksikan pemberitaan di media –karena tidak sabar menjalani cobaan– ada seseorang yang sampai hati membunuh orangtuanya, gantung diri dan bahkan bunuh diri beserta keluarganya dengan cara minum racun berjamaah. Padahal, kalau kita memikirkan lebih dalam tentang cobaan Nabi Ibrahim; lama menunggu hadirnya seorang buah hati, dan setelah mendapatkannya, di usia anaknya yang lucu, si anak harus dikurbankan. Andai saja Nabi Ibrahim dan keluarganya tidak memiliki kesabaran, pastinya tidak mungkin Nabi Ibrahim sanggup menjalankannya. Maka tidak ada obat yang paling ampuh untuk menjalani kehidupan di dunia kecuali sabar. Ada baiknya sabar tidak hanya diartikan secara pasif, tetapi juga aktif: sabar bukan hanya dalam menerima cobaan, tetapi juga sabar dalam memperjuangkan agar keluar dari cobaan.
Kedua, tawakkal. Arti tawakkal tidak serta-merta kita pasrah dengan apa yang terjadi terhadap kita, diam begitu saja. Sama sekali bukan. Melainkan kita harus mengupayakan segala sesuatu ke arah yang lebih baik. Persis seperti apa yang dipraktikkan keluarga Ibrahim. Di usia suaminya yang sudah berumur 86 tahun dan belum juga dikaruniai seorang anak, Sarah meminta suaminya untuk menikah lagi. Tentu poin ini sebagai contoh bukan dalam rangka menjadikannya sebagai legitimasi poligami, tetapi semata-mata pesan moral bahwa tawakkal yang sesungguhnya adalah menerima segala sesuatu yang terjadi kepada kita dan berusaha untuk menghadirkannya menjadi lebih baik.
Ketiga, yakin. Allah tidak pernah menjadikan dan memberikan segala sesuatu dalam keadaan dan tujuan yang sia-sia, maa khalaqta haadzaa baathila, “Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia” (QS. Ali Imran: 191). Minimal, dengan adanya sebuah ujian Allah mempersiapkan derajat yang lebih baik. Persis seperti di sekolah, kita harus menghadapi ujian dan harus mampu melewatinya dengan baik sebelum kita berada pada tingkatan yang lebih tinggi berikutnya. Seperti firman Allah saat Ibrahim lulus dalam ujian penyembelihan anaknya, “Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian. Yaitu kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik” (QS. As-Shaaffat: 107-110). Bahkan pada ayat setelahnya, Allah SWT mendeklarasikan siapa Nabi Ibrahim itu, “Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman”
Ibrahim dan Kesalehan Sosial
Penyembelihan Ismail yang kemudian digantikan domba, bukan hanya dalam rangka memberikan uswah bagaimana seseorang harus taat kepada Allah, bahwa penyembelihan kurban tersebut adalah merupakan sebuah pesan sosial, yaitu bermanfaat untuk orang lain (anfa’uhum linnas). Ketika seseorang berkurban, maka ia membagikannya kepada masyarakat sekitar, yang tentunya secara otomatis terjadilah silaturrahmi, berbagi dan menghadirkan senyum pada orang lain (idkhalus surur).
Kesalehan seseorang tidak hanya diukur dari bagaimana ia menghambakan diri kepada Allah (vertical performance); seberapa sering ia berpuasa, seberapa mahir ia membaca al-Quran, seberapa lama ia beriktikaf, atau seberapa sering ia menunaikan ibada haji dan/ atau ibadah umrah. Kesalehan seseorang juga diukur dari sisi kemasyarakatan (horizontal performance); bagaimana seseorang menghargai perbedaan, memenuhi undangan masyarakat sekitar, kepedulian terhadap masyarakat kurang mampu, dan sebagainya.
Oleh karenanya, mari kita bangun kesalehan yang paripurna ala Keluarga Ibrahim AS; meneguhkan keimanan dan ketakwaan tanpa menghilangkan keterbukaan atas semua perbedaan, berlomba-lomba menunaikan ibadah haji dan umrah tanpa harus mengacuhkan penderitaan serta kebutuhan masyarakat fakir-miskin sekitar, dan menjunjung tinggi kesalehan agama tanpa harus menanggalkan kesalehan sosial.
Ahirnya, semoga kita sekeluarga mampu meneladani kehidupan keluarga Nabi Ibrahim AS, dirahmati Allah dan menjadi keluarga yang dirindukan surga. Rabbana hab lana min azwajina wa dzurriyatina qurrata a’yun wa ij’alna lil muttaqina imama.

*Guru Sosiologi MA Nurut Taqwa Bondowoso

Postingan terkait..

2 thoughts on “KELUARGA IBRAHIM AS: REPRESENTASI KESALEHAN PARIPURNA”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *