Adalah KH. Ma’shum Zainullah merupakan pendiri dan sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Nurut Taqwa Grujugan Cermee Bodowoso. Beliau dilahirkan dari pasangan Bapak Narmo dan Ibu Rukmiyati (Hj. Halimatus Sa’diyah) pada 11 November 1951 di Ramban Kulon, Cermee Bondowoso Jawa Timur.
Beliau adalah anak pertama dari tiga bersaudara; H. Baidawi dan Bapak Suharto. Pada saat masih usia SD, beliau sudah diketahui sangat berbeda dengan kedua saudaranya; seakan-akan beliau sangat menyadari keadaan ekonomi keluarganya yang terbilang sangat sederhana. Maka tak heran bila Kiai Ma’shum kecil (nama kecilnya: Nursahwi) rajin membantu mencari kayu, menumbuk padi, dan juga tidak pernah menuntut sesuatu kepada kedua orangtuanya. Bahkan saat beliau masih belajar di Sekolah Dasar, sama sekali tidak pernah meminta uang saku kepada kedua orangtuanya. Untuk mendapatkan uang jajan, beliau membuat mainan dari kayu dan menjualnya kepada teman-teman di sekolahnya. Beliau juga disenangi oleh para dewan guru karena beliau termasuk siswa yang rajin, patuh terhadap guru dan tidak pernah melanggar peraturan sekolah.
Ketika menginjak usia remaja, Kiai Ma’shum hijrah ke daerah Situbondo untuk mencari ilmu, tepatnya di Pondok Pesantren Curah Jeru yang saat itu diasuh oleh dua kyai bersaudara; KH. Rusydi dan KH. Rasyidi. Selama beliau menuntut ilmu di pesantren tersebut, adalah Ibu Nawiya yang merupakan saudara tertua lain ibunda Kiai Ma’shum yang menanggung biaya hidupnya. Saat itu pun, ekonomi Ibu Nawiya masih jauh dari kata cukup. Untuk membiayai Kiai Ma’shum muda, ia harus menjual dagangannya dengan berjalan kaki hingga sampai di daerah di mana Kiai Ma’shum muda belajar agama Islam.
Setelah cukup lama menimba ilmu di Pondok Pesantren Curah Jeru, kemudian beliau nyantri di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton Probolinggo di bawah asuhan KH. Zaini Mun’im. Saat belajar di pesantren tersebut, beliau dikenal dengan salah seorang santri yang tawadu’, wara’, memiliki pengetahuan agama yang cukup baik dan memiliki rasa tanggungjawab besar.
Mengetahui hal itu, maka KH. Zaini Mun’im memerintahkan beliau untuk membimbing beberapa santri, menjadi pengurus pesantren. Dan menariknya, para santri yang tertarik untuk mendapat bimbingan dari Kiai Ma’shum muda jauh lebih banyak dari pada jumlah santri bimbingan pengurus lainnya. Padahal tak sedikit dari para pengurus yang lebih alim dari pada beliau.
Semasa belajar di Nurul Jadid, beliau juga dikenal dengan pribadi yang supel; akrab dengan para santri, pengurus, dan bahkan juga dikenal dekat dengan putra pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid, KH. Muhammad Hasyim Zaini, BA.
Setiap kali putra pengasuh itu hendak pangkas rambut, pasti beliau meminta Kiai Ma’shum muda untuk melakukannya. Karena budi pekertinya yang luhur, ketaatan serta keakrabannya dengan berbagai kalangan di pesantren, maka hampir semua anggota keluarga besar pesantren mengenal Kiai Ma’shum muda, hingga beliau sempat dijodohkan dengan salah seorang gadis asal Madura.
Sekitar tahun 1970 beliau boyong dari Pondok Pesantren Nurul Jadid. Tak lama setalah itu, Bapak Kepala Desa Grujugan, Bapak Sunaryan datang kepada keluarga Kiai Ma’shum di Desa Ramban Kulon agar bersedia mengijinkan putra pertamanya menjadi takmir masjid di Desa Grujugan. Inisiatif ini diambil oleh kepala desa karena masjid tersebut tidak dipakai dan tidak ada yang merawat, bahkan banyak binatang berbisa yang bersarang di tempat ibadah tersebut.
Pada masa awal kiprahnya di tengah-tengah masyarakat, Kiai Ma’shum ditemani oleh istri tercinta, Nyai Raudlatul Hayati. Sejak pernikahannya pada tahun 1974, beliau dikaruniai dua anak; Nyai Hj. Nur Aini Ma’shum (1977) dan KH. Nawawi Ma’shum (1985). Sebelum beliau mendirikan sebuah pondok pesantren, beliau aktif mengadakan dan memimpin acara keagamaan seperti shalawatan, tahlilan dan pengajian yang diselenggarakan di rumah warga sekitar.
Sementara dalam mengarungi kehidupan rumah tangga, khususnya masalah ekonomi, keluarga Kiai Ma’shum masih belum stabil. Masih sangat sederhana. Anyaman bambu yang dijadikan dinding rumah beliau masih bolong-bolong, bahkan ayam peliharaannya dengan mudah bisa keluar masuk rumah. Meski bukan satu-satunya, menjahit merupakan sumber mata pencaharian utama. Di samping itu, beliau juga pernah menjadi guru sokwan di SDN Sempol dan mengelola tanah sewaan untuk mendapatkan penghasilan tambahan.
Sebagai alumni pesantren, beliau merasa memiliki tanggungjawab untuk mensyiarkan agama Islam kepada masyarakat, khususnya di Desa Grujugan dan sekitarnya. Maka kemudian beliau mendirikan sebuah lembaga pendidikan agama Islam (madrasah diniyah) yang sederhana; media pembelajaran dan tenaga pendidik seadanya.
Alhamdulillah, keberadaan madrasah tersebut mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat. Anak-anak berduyun-duyun mengikuti pembelajaran di madrasah tersebut. Bahkan santrinya juga ada yang berasal dari desa sekitar; Ramban, Sempol dan Prajekan. Inilah yang kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya sebuah pesantren bernama Pondok Pesantren Nurut Taqwa.
Dalam masa periode awal pendirian pesantren, Kiai Ma’shum (panggilan akrabnya setelah lama membina madrasah dan menjadi takmir masjid adalah Ustadz Nursahwi), mendapatkan tantangan luar biasa dari sebagian masyarakat. Pelbagai ancaman, hinaan, hasutan, hatta tindakan fisik berupa pelemparan batu terhadap rumahnya adalah hal yang acapkali beliau dapatkan. Kendati demikian, semangat beliau tetap kuat dan bahkan tambah kuat untuk berjuang tafaqqahu fi al dien.
Karena beliau memiliki track record baik semenjak keluar dari pesantren, hingga lama mengabdikan diri kepada masyarakat, maka pada tahun 1982 beliau diangkat menjadi anggota DRPD Bondowoso. Namun, hanya satu periode, beliau diminta berhenti oleh KH. Ahmad Sufyan Miftahul Arifin –salah satu guru spiritual KH. Ma’shum– sehingga bisa lebih fokus dalam mendidik dan membimbing para santri-santrinya.
Di tahun yang sama, beliau mendapatkan panggilan ke baitullah. Proses keberangkatannya tidak semudah dengan apa yang kita bayangkan. Bermula pada tahun 1980 beliau sowan kepada KH. Ahmad Sufyan untuk meminta nasehat terkait urusan umat. Tanpa dinyana, Kiai Sufyan (panggilan akrab KH. Ahmad Sufyan), memberikan tasbih ukuran besar yang terbuat dari buah nyamplung dan menyuruh Kiai Ma’shum untuk melakukan tirakat di Makam Kiai Kholil Bangkalan, dan tidak boleh pulang sampai ada restu dari Kiai Kholil; apakah ia direstui untuk menunaikan haji atau tidak.
Hanya berselang tiga hari, ada suara mistis terdengar, “Berangkat… berangkat… berangkat…” Maka kemudian Kiai Ma’shum menghadap Kiai Sufyan dan menyampaikan suara supranatural tersebut. Sang guru pun memaknai bahwa suara tersebut datang dari Kiai Kholil Bangkalan sebagai pertanda bahwa beliau merestui keberangkatannya ke Makkah.
Pun demikian, persoalan dana menjadi batu sandungan yang cukup berarti. Biaya haji yang harus dikeluarkan kala itu sebesar dua juta lima ratus ribu rupiah. Ustadz Zaini –seorang teman dan kerabat dekat yang setia mendampingi perjuangan beliau– mengisahkan bahwa untuk setoran pertama, Kiai Ma’shum terpaksa harus menjual motornya dengan harga lima ratus ribu rupiah.
Selebihnya beliau tidak memiliki pandangan sumber dana, karena memang pada saat itu kondisi ekonomi Kiai Ma’shum masih jauh dari kata cukup. Rupanya Allah SWT memberikan jalan dari sisi yang tak terduga. Di Desa Grujugan ada salah seorang kaya raya sekaligus menjabat sebagai kepala desa bernama Bapak Hajar (H. Syakur) yang saat itu beliau sakit parah dalam waktu yang sangat lama.
Meski diobati ke beberapa tabib dan dibawa ke berbagai rumah sakit di daerah Bondowoso dan Situbondo, Pak Kades tersebut tidak kunjung sembuh. Hingga akhirnya pada suatu malam, beliau bermimpi didatangi oleh leluhurnya dan mengatakan, “Jika kamu ingin sembuh, berobatlah kepada Kiai Ma’shum. Tapi kamu harus memenuhi keinginannya!”
Esoknya, Pak Kades langsung mendatangi rumah Kiai Ma’shum dan mengutarakan isi mimpinya tersebut. Selangkah kemudian beliau menanyakan tentang apakah gerangan yang menjadi keinginan kuat dari Kiai Ma’shum. Maka beliau pun mengungkapkan bahwa berangkat haji adalah keinginan utamanya. Lantas, setelah Pak Kades mengetahui jumlah uang yang disetorkan dan jumlah dana yang masih dibutuhkan, maka Pak Kades memberinya uang Rp. 1.000.000.00 sebagai tanda terima kasih karena telah bersedia mengobatinya dan memberikan pinjaman Rp. 1.000.000.00.
Pasca kejadian tersebut, Kiai Ma’shum kembali sowan kepada Kiai Sufyan di Pondok Pesantren Sumber Bunga, Sletreng Kapongan Situbondo guna menyampaikan berita bahwa dana haji yang dibutuhkan sudah cukup. Dengan catatan bahwa uang satu juta merupakan uang pinjaman.
Mendengar berita itu, sebagai wujud syukur, Kiai Sufyan memerintahkan Kiai Ma’shum untuk mengundang seluruh saudara, tokoh dan guru yang senantiasa berjuang bersama beliau selama ini. Hingga akhirnya, udangan yang hadir saat itu lebih dari seribu orang. Dalam acara do’a tersebut banyak sekali yang memberikan bingkisan kepada Kiai Ma’shum, hingga akhirnya jumlah uang yang diterima oleh beliau lebih dari satu juta, dan dari uang inilah kemudian pinjaman Pak Kades terlunasi.
Sepulang dari tanah suci, beliau kembali berdakwah dan membimbing para santri yang semakin bertambah banyak. Pada acara akhiru al sanah, KH. Hasan Abdul Wafi meruapakan salah seorang guru beliau saat belajar di Pondok Pesantren Nurul Jadid diundang untuk menyampaikan ceramah agama. Dan di akhir pidatonya, beliau membaiat Kiai Ma’shum Zainullah menjadi KH. Ma’shum Zainullah.
Saat ini, di usianya yang sudah tidak muda lagi, beliau tetap semangat membina umat dan menahkodai Pondok Pesantren Nurut Taqwa untuk menciptakan generasi emas yang bisa dibanggakan oleh agama, bangsa dan Negara. (anh)
Biografi ini adalah hasil wawancara dari Ustadz Imam Ghazali, S.PdI, Ustadz Abdul Qodir, dan Ustadz Zaini