Ming. Sep 15th, 2024

HIKAYAT MUSIM

By Pengurus Pesantren Nov1,2016

HIKAYAT MUSIM I

Setelah bermukim di September

Aku mulai menghuni Oktober

Rombongan hujan semalam

Sudah cukup menentramkan

Menemani sunyi mempersembahkan lagu-lagu kesayangan

Di langit hitam

Bulan dan bintang di telan malam

Nafasmu terdengar dari jauh

Semakin tunas semakin bernafas

Menjadi rindu menulis wajah waktu

Sangat mesra

Seperti kecilku dalam dekapan ibu

Aku masih menunggu

Barangkali ada takdir bertemu

Seperti cahaya tiba-tiba saja memotret tanah

Dengan wajah samudra

Sebelum pada akhirnya surut menjelma danau danau

Mengubur dahaga kemarau

Menghibur risau mematahkan jarum dan pisau

Menghampar kembali halaman hijau

Memandang diri sendiri

Bukan lagi kelapa yang baru dipetik dari tangkainya

Tapi ampas ampas yang sudah diambil santannya

 

Kubuka pintu

Langit menghampar pagi

Gerimis tipis patah dari kelopaknya

Matahari belum bangun dan tersenyum

Entah musim apa hari ini

Kudengar para santri menghidupkan hati

Membacakan bait nadzam nadzam suci

Sambil menanti waktu mengaji

Mesin bergemuruh

Bersama sejumlah kaki berlala lalang memaknai waktu

Kusapu sampah sampah di halaman

Yang mengotori dan memucatkan usia

Kubersihkan sarang laba laba di rumah

Dengan istighfar dan doa

Kucari matahari

Dalam diri sendiri yang bersesuci

Mewudukkan perih dan sunyi

Setelah tak perawan

sehabis mengelar perselingkuhan

Dengan gelap syahwat peradaban

Hadast dan mutanajis semakin semakin rindang

Burung dan ayam membawa tawakkal

Bertebaran mematuk matuk riski

Menghaturkar guru sambil menasehati

 

10 Oktober 2016

 

HIKAYAT MUSIM II

 

Setelah tanah basah air langit

Akar sumringah sembuh dari sakit

Matahari mulai bersegera

Menyantuni cahaya memandikan tanah

Air dan matahari

Sumber nafas dan tunas

 

Aku menahan sepasang kelopak lelah

Melepas pelan-pelan memadamkan nyalanya

Daun-daun berdansa

Digerakkan angin yang singgah

 

Kutemukan alamat-alamat dan bekal perjalanan

Di madrasah kehidupan

Kadang ada guru tak disangka

Tanpa papan tanpa tulisan

Mengajar murid mengenal alamat dan peta

Sebelum akhirnya menempuh arah

Agar selamat tanpa tersesat

 

Saya budak bagi manusia

Yang mengajarkan ilmu walau se huruf saja!” tutur Sayyidina Ali pintu ilmu Nabi

 

Senja pulang

matahari bercadar dedaunan

Karam di tenggorokan bebukitan

Kulihat langit memakai batik awan

Warna putih, biru, dan kelabu

Sebelum akhirnya menutup muka dengan gulita

 

Aku menunggu kepastian jawaban

Setelah perjanjian menemukan keputusan

Kafilah pena menerjemah pikiran dan perasaan

Merasakan, merenungkan, dan sambil menulis kepekaan

Dari rumah suci

Dzikir dzikir menjadi suasana

Menunggu kafilah dan khalifah

Berjamaah menyerahkan keningnya

Hanyut meletakkan kepasraan sujud

 

Aku terbawa pada petuah wajah lama

Memutar cerita cinta

Ada yang bertepuk sepasang tangan

Ada yang menepuk dada setelah bertepuk tangan sebelah

Aku diantara pagelaran

Menyaksikan perempuan gemulai menari

Mengikuti nyanyian hiasan mimpi

Ada hati terjatuh

Terdiam menemukan hiburan rindu

Gadis desa masih belia sudah pandai mandi ke hulu

Dinobatkan menjadi bunga desa

Seorang lelaki tergila-gila

Membuat luka mengukir namanya dengan getah

Takdir memberi keputusan

Ada lengkung janur kuning di halaman

“ Qanaah adalah mencintai yang dimiliki

Bukan memiliki yang dicintai!” tutur akal jernih

 

10 Oktober 2016

 

 

HIKAYAT MUSIM III

 

Pada hari-hari yang selesai mati

Kubuka kain kafannya

Mayat-mayat hidup kembali dalam sunyi

Mengajak bicara dan membaca

Ada yang membusuk ada yang berserakan tulang belulang

Mulai hancur menyatu dengan tanah

Ada yang masih utuh menerbarkan semerbak bunga

Kutemukan pelajaran

Sambil menelaah kematian

Menyadarkan kehidupan

Biji-biji kembali di tanam sejak pagi

Mengajak petani bergegas mengasuh sawah

di langit dan di bumi

Tiba-tiba

Sehabis maghrib

Menunggu isya’ terbit

Anak kecil menaiki kuda dari kayu

Disampingnya seorang ibu menemani

Sambil mengabsen lembar-lembar beban

Rentenir masih berkeliaran

menyobek bendera kemerdekaan

Suami tercinta subur keringat dan lelahnya

Mencari nafkah ditemani gelisah

Kepala tertindih dan tertusuk berulang-ulang

Setelah lebih besar pasak daripada tiang

 

Dari kejauhan

Para leluhur berpakaian serba hitam

Mendatangi pemakaman

menurunkan bendera setengah tiang

Menyaksikan pasukan banjir bandang

Menciptakan peti jenazah

Menguburkan mayat-mayat purnama

Ada segerombolan kambing hitam

Saling mengkambing hitam

Setelah cuci tangan di persidangan

Tentang siapa pencuri yang merusak tatanan

Berkali-kali diajak mandi namun menolak lantang

 

Srigala durhaka memangsa ribuan domba

Memucatkan dada Kitmir  menikmati surga

Setelah mengabdi sampai mati

Pada tuannya Ashabul Kahfi

 

Di media berita

Musim masih basah Jessica dan Mirna

Yang dihakimi memusingkan hakim bijaksana

Bagaimana mengetokkan palunya

 

Kanjeng Taat Pribadi

Bertelanjang mahkota dan singgasana

Tupai  jatuh dari lompatan

Bau busuk tercium setelah disembunyikan

 

Sampai pada Ahok

Tersandung Surah Al Maidah

Para pemikir sibuk berperang tafsir

 

Para politisi ramai berkoalisi

Sebelum memastikan dukungan

Pada bendera yang menjanjikan

 

Jurkam-jurkam memutar lagu lama

Dengan pabrik-pabrik janji kesejahteraan jelata

Sambil mempersiapkan strategi

dan mengatur rencana rapi

Pura pura lupa kembali mengingkari janji

 

Pahlawan tanpa jasa

Minta imbalan jasa

Turun jalan berteriak teriak

Disaksikan para muridnya yang disadarkan agar bijak

 

Kulihat ibu pertiwi

Sedang bersusah hati

Siapa yang bernyanyi itu

Sesenggukan pilu?

 

11 Oktober 2016

 

 

HIKAYAT MUSIM IV

 

Bulan separuh

Menjadi atap menemani tarian madah perindu

Kekasihnya duduk diantara mereka

Entah menangis haru

Atau tersenyum rindu

Namun gagal dilihat tertutupi tebal hijab

 

Aku merebahkan lelah

sanad rasa mengikat makna

Mendengar kemesraan cinta

 

Rebana-rebana

Merias kekhusuan

Sejumlah dzikir embun

Menjadi denyut nadi

 

Arwah-arwah di dalam tanah

Bersilaturrahmi sambil menanti sedekah

Menadah cahaya dermawan

Barangkali  dituangkan

Pada wadah yang menantikan

 

Musafir terdampar

Di sebuah padang yang bersaksi

Tentang sungai darah mengaliri hari

Padang Karbala

Tempat Sayyidina Husain cucu Nabi

Menghatamkan riwayat melihat terbit matahari

 

Biarkan darah terkubur sejarah

Pedang harus dipatahkan

Dendam harus dijinakkan

Menjadi pengikut yang baik

Harus jadi orang baik

 

Berhenti melukai diri sendiri

dan mendoakan setulus hati

Diantara bukti berterima kasih

 

12 Oktober 2016

 

 

NURTAUFIK

Pendamping Kegiatan Ektrakurikuler Jurnalistik Bidang Sastra

MA Nurut Taqwa Grujugan Cermee Bondowoso

                                                         

 

 

 

Postingan terkait..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.