Ming. Sep 15th, 2024

Model Pendidikan Karakter di Pondok Pesantren

By Pengurus Pesantren Mei2,2017
Pendidikan Karakter

By Moh. Salapudin (Santri Futuhiyyah Mranggen Demak, pengampu www.catatankangsalap wordpress.com)

Menurut Debra Mashek (2007) kegagalan pendidikan kita saat ini disebabkan oleh kegagalan dalam mensinergikan kognisi dan moral peserta didik. Pendidikan yang kita alami saat ini justru cenderung menciptakan jarak yang terlampau serius antara kognisi dengan moralitas peserta didik. Banyak peserta didik yang cerdas dan berpengetahuan luas, tetapi di saat yang sama tidak memiliki karakter yang baik. Meminjam istilah Pramoedya Ananta Toer (1980), banyak pelajar tetapi tidak terpelajar.

Padahal Ki Hadjar Dewantara (1889-1959) selaku Bapak Pendidikan kita sudah mengingatkan bahwa karakter adalah ruh pendidikan. Undang-Undang no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) juga menegaskan pentingnya karakter. UU tersebut menyebutkan bahwa tujuan nasional pendidikan kita adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Dari premis di atas dapat kita tarik satu garis bahwa keberhasilan pendidikan bukan saja diukur dari seberapa banyak pengetahuan atau gelar kesarjanaan yang dicapai, tetapi juga dari seberapa mampu peserta didik mengamalkan pengetahuan tersebut dalam laku aktivitas sehari-hari dibarengi dengan akhlak yang baik. Oleh karena itu, model pendidikan yang dicita-citakan oleh UU pada dasarnya adalah model pendidikan yang mengintegrasikan aspek kognisi dan aspek moral.

Pesantren Lebih Efektif

Institusi-institusi pendidikan kita pada dasarnya sudah berupaya megintegrasikan aspek kognisi dan aspek moral. Hanya saja, pondok pesantren yang oleh Manfred Ziemek (1984) disebut sebagai embrio utama serta tonggak berdirinya sejarah pendidikan di Indonesia, memiliki kelengkapan-kelengkapan sistem yang memungkinkan tercapainya tujuan pendidikan seperti dicita-citakan UU dengan lebih efektif dibanding lembaga lain. Efektivitas pendidikan pesantren dalam mengintegrasikan aspek kognisi dan moral, di antaranya karena didukung oleh sistem pemondokan (asrama).

Sistem pemondokan adalah sistem yang mengatur kegiatan peserta didik (santri) selama 24 jam mulai dari bangun tidur sampi tidur lagi. Dengan sistem ini, evaluasi terhadap apa yang oleh Thomas Lickona (2013) disebut sebagai moral action, dapat dilakukan secara kontinu sehingga memudahkan pendidik dalam melihat perkembangan santri.

Dalam pandangan Lickona, moral action (perbuatan moral) adalah titik pencapaian pendidikan karakter. Sebelum mencapai titik itu, tahapan yang harus dilalui adalah moral knowing (pengetahuan akan moral) dan moral feeling (perasaan akan moral). Dalam tahapan moral knowing dan moral feeling, pesantren mengajarkan kitab-kitab yang bermuatan moral seperti kitab Ta’lim al-Muta’allim karya Al-Zarnuji, ‘Idzatun Nasyi’in karya Musthafa al-Ghalayain, dan kitab Al-Hikam karya Ibnu Atha’illah As-Sakandary.

Selain diajarkan nilai-nilai karakter seperti jujur dan disiplin, melalui kitab Ta’lim al-Muta’allim para santri diberi pemahaman bahwa tujuan belajar adalah untuk menghilangkan kebodohan. Kalimat ini sesungguhnya kalimat yang mengandung siasat secara retoris. Sebab pada kenyataannya kebodohan adalah sesuatu yang tidak bisa dihilangkan. Semakin orang belajar, semakin orang merasa bodoh. Ignoramus et ignorabimus (kita tidak tahu dan kita tak pernah tahu). Artinya, kalimat menghilangkan kebodohan adalah siasat agar para santri tidak pernah berhenti belajar. Hal ini segaris dengan perintah carilah ilmu dari buaian sampai liang lahat (uthlubu al-‘ilma mina al-mahdi ila al-lahdi).

Dengan adanya sistem pemondokan pula, pesantren mengurangi potensi masuknya pengaruh-pengaruh negatif terhadap para santri selama menjalani tahap pendidikan. Kelemahan lembaga pendidikan yang tidak menggunakan sistem pemondokan adalah terlepasnya kontrol terhadap perilaku peserta didik pada ruang antara sekolah dan rumah. Pada rentang ruang inilah para guru dan orangtua sering “kecolongan”.

Pada ruang antara rumah dan sekolah, peserta didik leluasa untuk bergaul dengan siapa saja, bahkan melakukan apa saja, tanpa pengawasan guru dan orangtua. Maka tidak mengherankan bila ada anak yang tampak tidak bermasalah di rumah dan kelas, tetapi sesungguhnya bermasalah di ruang antara rumah dan sekolah. Di sinilah ungkapan Freidrich Nietsczhe (2008) bahwa education is what you learn from school, from home, and more importantly between school and home menemui titik urgensinya.

Selain sistem pemondokan, pondok pesantren lebih efektif dalam mendidik karakter karena memenuhi dua prasyarat utama yang diperlukan dalam proses pembentukan karakter seperti diuraikan M. Nuh (2017), yaitu keteladanan (role model) dan pembiasaan (habituation). Aspek keteledanan diperankan terutama oleh kiai sebagai figur sentral dalam pondok pesantren, para guru, dan bahkan santri yang lebih senior. Sementara aspek habituasi (pembiasaan) dilatih melalui kegiatan sehari-hari santri yang sudah terjadwal selama 24 jam dan selalu dalam pengawasan pendidik pesantren.

Walhasil, melalui model pendidikan sebagaimana diterapkan dalam pondok pesantren, gap antara kognisi dan moral seperti diungkapkan Mashek di awal tulisan ini dapat diatasi. Karena itu, di Hari Pendidikan Nasional ini, masyarakat Indonesia, terutama para pemangku kebijakan di bidang pendidikan, harus lebih memperhatikan pesantren, bahkan bila perlu mengadopsi sistem-sistem pendidikan yang dijalankan di pondok pesantren.

Postingan terkait..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.