Oleh : Abd.Shomad, M.Pd.I
Begitu indahnya manakala kita melihat jauh ke dalam tentang kehidupan pesantren dan warganya, para santri. Seketika kita akan disajikan pada rutinitas keseharian (amaliyah yaumiyah) yang serba ibadah dan perjuangan.
Ada beberapan kebiasaan warga pesantren yg dalam kesehariannya patut kita teladani dalam kehidupan kita di masyarakat. Pasalnya, kehidupan dan pembiasaan yang kita lakukan di pesantren sejatinya merupakan awal pembelajaran kehidupan kita yang sesungguhnya di masyarakat. Misalnya menebarkan salam (Afsus Salam). Membiasakan diri kita untuk mengucapkan kata pujian keselamatan untuk sesama. Walaupun terdengar sangat biasa di telinga kita, tapi amaliyahnya dalam kehidupan sehari- hari sangatlah susah dipraktikkan kalau kita tidak melakukannya dengan proses pembiasaan diri. Pesantren yang di dalamnya mengemban amanah utama “Tafakkuh Fiddin”, dan menjunjung tinggi nilai akhlakul karimah, merupakan wadah yang sangat urgen dalam rangka mewujudkan cita- cita luhur itu.
Hal itu diungkapkan oleh ketua yayasan PP. Nurut Taqwa KH.Barri Sahlawi Zain, M.Si, dalam acara halaqah dewan guru PP. Nurut Taqwa bersama pengurus yayasan, bahwasanya nilai- nilai kepesantrenan yang menjadi tradisi pesantren akhir- akhir ini sudah mulai merosot di kalangan santri. Oleh karenanya selain sistem dan manajemen yang harus diperbaiki, penguatan nilai nilai kepesantrenan sepatutnya menjadi prioritas utama yang dilakukan khususnya bagi santri baru yang baru mondok di pondok pesantren. Hal inipun diperkuat oleh pernyataan kepala kepesantrenan KH. As’ ad Nawawi Ma’sum, bahwasannya nilai moralitas, akhlak dan sopan santun menjadi yang utama sebelum ilmu didapat. Pernyataan ini menandakan bahwa nilai keberkahan, santri yang mencari kebarokahan, akhir- akhir ini sudah semakin menipis akibat tergerusnya arus globalisasi dan maraknya iptek yang tidak diimbangi dengan imtaq yang kuat. Wal hasil, ketimpangan sosial dan degradasi moral menjadi jamuan di media sosial dan kehidupan di masyarakat kita. Oleh karenanya, imbuh beliau, sebelum kita mengajarkan orang untuk berbuat baik dan berakhlak, mari kita mulai dari diri kita sendiri untuk merubahnya agar lebih baik dan bermartabat.
Kita hidup dimulai dari tidak tahu menjadi tahu. Dari ketidak tahuan kita menjadi tahu merupakan proses pembelajaran untuk menjadi diri kita yang utuh. Islam adalah agama rahmatal lil ‘alamin, agama yang menjadi penyejuk bagi umat manusia dan seluruh alam Jikalau kita ingin menjadi muslim yang utuh, maka sendi sendi islam harus ditegakkan dalam diri dan kehidupa kita.
Seorang santri dikatakan sebagai santri yang utuh bilamana;
- Al ihtimaamu bi tarkil kabaair, berhati hati untuk melakukan dosa besar, semisal as syirkuh billah ( menyekutukan allah).
- Al ihtimaamu bil furudhil ainiyah, bersegera dan berhati-hati dalam melakukan sesuatu yang bersifat wajib dan menjadi kewajiban seorang hamba, semisal sholat 5 waktu, puasa, zakat dan barhaji bagi yang mampu.
- Husnul adab ma’a allahi wa ma’ a al kholqi, baik adab tatakramanya ketika bermunajat kepada allah dan berinteraksi kepada sesama makhluknya.
Dari ketiga pernyataan di atas , menjadi sendi sendi trilogi santri yang menjadi ciri khas santri yang sesungguhnya.
Kesimpulannya, bilamana kita ingin menjadi santrinya kiai, santrinya Rasulullah didalam satu barisan yang lurus, haruslah menjaga diri kita dari sifat-sifat yang menjauhkan kita dari keridhoan Allah SWT. Nilai-nilai yang ada dalam kultur pesantren harus kita lestarikan agar kita dapat bernafas dengan lega, sehingga kita dapat menuai tali-tali perjuangan yang dibawa oleh baginda kita melalui para wali dan kekasihnya. Semoga kita khusnul khotimah. (Dipetik dari halaqah pertemuan guru PP.Nurut Taqwa dan pengurus yayasan PP.Nurut Taqwa dalam rangka halal bi halal dan persiapan penerimaan santri baru tahun 2017).