JADI PANELIS MPSN, ALUMNI NURUT TAQWA KENALKAN PESANTREN DIFABEL
Anwari Nuril Huda adalah salah satu alumni Pondok Pesantren Nurut Taqwa yang berhasil menjadi panelis pada agenda Muktamar Pemikiran Santri Nusantara (MPSN) dengan tema “Islam, Kearifan Lokal dan Tantangan Kontemporer” yang berlangsung sejak 10-12 Oktober 2018 di Pesantren Al- Munawwir dan Ali Ma’shum Yogyakarta.
Animo kalangan pesantren untuk mengikuti muktamar sangat besar. Hal tersebut dibuktikan dengan jumlah abstrak yang mencapai 1.294. Pada proses seleksi I dipilih 240 untuk mengirikam full paper, dan tahap II dipilih 172 paper dan diminta untuk dipresentasikannya di muktamar.
Meski persaingannya terbilang ketat, Anwari Nuril Huda mengaku cukup percaya diri. “Sejak awal saya cukup yakin paper saya akan dipilih panitia karena setelah saya cek semua judul yang masuk nominasi tahap I belum ada yang membahas difabel. Artinya, isu difabel masih menjadi barang baru dan pastinya penting untuk diperkenalkan kepada khalayak ramai. Dan alhamdulillah benar, paper-ku lolos”
Dalam pemarannya, mula-mula ia menjelaskan definisi ‘Pesantren Difabel’ yang menurut penilaiannya sendiri masih kurang tepat karena term tersebut masih bertendensi ke arah eksklusivitas kelompok. Istilah yang dianggapnya sangat tepat adalah ‘Pesantren Inklusif’. Meski demikian, mantan penerima PBSB UIN Sunan Ampel tersebut juga menekankan bahwa dewasa ini ‘inklusif’ masih bermakna dua; kelompok Islam moderat mendefinisikan inklusif sebagai pendidikan yang mengajarkan moderasi Islam di tengah-tengah perbedaan. Sementara kalangan aktivis difabel mengartikan inklusif sebagai sistem pendidikan yang menggabungkan peserta didik difabel dengan non-difabel dalam satu ruangan tanpa adanya diskriminasi pada aspek apapun.
Berikutnya ia menjelaskan beberapa hal yang harus diperhatikan dan wajib didesain secara inklusif untuk menciptakan pesantren yang ideal dan aksesibel bagi santri maupun calon santri baik difabel atau non-difabel. Komponen-komponen tersebut berupa paradigma, kurikulum, infrastruktur lingkungan dan kebijakan.
Menurutnya, pesantren dan Islam telah memiliki akar historis sebagai konsep pendidikan yang aksesibel bagi semua kalangan.
“Sebenarnya pesantren dan Islam sudah cukup inklusif. Kita tahu bahwa Islam sangat ramah difabel, misal surat ‘Abasa yang dilatar-belakangi keabaian nabi terhadap sahabatnya yang tunanetra, Abdullah bin Umm Maktum. Sementara di pesantren kita saat ini misalnya, sudah ada santri yang difabel dan belajar dengan teman-temannya yang non-difabel. Artinya, kita hanya memerlukan beberapa langkah lagi untuk menjadi lembaga pendidikan yang inklusif!” terang penerima beasiswa diktis di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga pada kajian Disability Studies and Inclusive Education itu. (KangSalap)