Senin (29/10), Anwari Nuril Huda yang merupakan alumni Pondok Pesantren Nurut Taqwa tahun 2012 kembali menorehkan prestasi setelah sebelumnya menjadi salah satu pembicara pada Muktamar Pemikiran Santri Nusantara di Yogyakarata. Kali ini, pemuda kelahiran Bondowoso itu diundang oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Hukum Keluarga Islam (HKI) Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang dalam acara Ahwal Syakhsyiah Lawyers Club (ALC) yang mengangkat tema “Layakkah Aku Menikah: Analisis Hukum Perkawinan Penyandang Difabel Mental” di Auditorium Kampus I Lantai II UIN Walisongo Semarang.
Alumni yang saat ini menjadi Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga itu diminta untuk menyampaikan ulasan buku “Fikih (Ramah) Difabel” beserta tinjauah fikih terhadap tema yang diangkat. Menurutnya buku tersebut berupaya keras merekonstruksi fikih klasik yang kebanyakan membahas aturan-aturan untuk kalangan mayoritas atau non-difabel (normalism oriented), sementara porsi pembahasan kelompok difabel sangat minim, bahkan mereka seringkali ‘dianugerahi’ rukhshah (dispensasi hukum) karena dianggap kurang atau tidak mampu menjalankan ibadah sebagaimana masyarakat muslim kebanyakan. Pemuda yang sangat concern pada isu disabilitas dan pesantren inklusif menduga kuat bahwa fakta tersebut didorong oleh medical model dan charity based.
Berkenaan dengan tema, ia menyatakan bahwa difabel mental memiliki hak yang sama seperti masyarakat umum dalam urusan menikah meski ulama klasik masih merinci (tafshil) tingkat kedifabilitasan calon mempelai, apakah masuk kategori ringan, sedang dan berat.
“Dalam fikih klasik, hampir semua ulama menyepakati bahwa yang dibolehkan menikah hanya difabel mental dalam kategori ringan dan sedang dengan ketentuan mendapatkan restu dari wali, sementara difabel berat sangat tidak dianjurkan. Karakter hukum positif negara kita juga bertendensi begitu, inilah yang disebut normalism oriented, semuanya diukur dengan ‘normalitas’ kelompok mayoritas.”
Ia menambahkan bahwa difabilitas bukan persoalan individual, melainkan persoalan lingkungan dan sosial sebagai bagian dari support system. Di lapangan, banyak sekali orangtua yang memiliki anak difabel merasa khawatir terhadap keberlangsungan anaknya ketika mereka meninggal. Pertanyaan yang biasa muncul di benak mereka adalah “Siapakah yang akan mengurus si anak? Apakah mereka siap ditinggal oleh oranguta? Apakah si anak akan diterima oleh masyarakat sekitar? dan lein sebagainya. Menurutnya, kekhawatiran semacam itu sangat wajar, pasalnya mayoritas masyarakat masih cenderung menggunakan kacamata medical model yang menganggap difabilitas adalah persoalan individu, bukan sosial, sehingga terbangun ‘jarak’ (gap) antara mereka yang non-difabel dengan difabel.
“Difabilitas bukan masalah individual, ini adalah tanggungjawab kita bersama (sosial). Kita harus memastikan mereka dapat menjalankan kehidupannya dengan baik, merasa nyaman hidup di tengah-tengah masyarakat dan mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara yang sah.”
Di akhir materi, selain menegaskan kembali poin-poin utama, ia juga membacakan quote dari Candra Malik,
“Mencintai adalah kata kerja, dicintai adalah adalah kata sifat, sementara cinta bukan kata kerja maupun kata benda, ia adalah kata hati.” Tuturnya disambut gemuruh tepuk tangan 250 peserta. (KangSalap)