Rab. Des 3rd, 2025

Saya tidak pernah menulis dengan perasaan terisak-isak. Tulisan ini lahir dari keresahan yang dingin, dari kegetiran seorang santri yang menyaksikan rumahnya diterpa badai dari segala penjuru.

Nahdlatul Ulama (NU), sebuah entitas kolosal yang didirikan oleh para waliyullah dengan darah, air mata, dan doa, selama hampir satu abad telah berdiri sebagai tiang utama keagamaan dan kebangsaan di Indonesia. Ia adalah organisasi sosial keagamaan terbesar di dunia, benteng Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja), serta penjaga tradisi Nusantara. Namun hari ini, tiang agung itu sedang diterpa. Bukan oleh badai eksternal yang biasa kita saksikan, melainkan oleh gejolak yang muncul dari dalam: Badai internal yang mengancam Khittah 1926.

Badai ini, ibarat penyakit yang menjalar, mulai dari dekadensi moral di tingkat akar rumput hingga kompromi ideologis di puncak kepemimpinan. Kita menyaksikan musibah “gus-gus ugal-ugalan” yang merusak citra pesantren sebagai kawah candradimuka akhlak, hingga institusi pendidikan luhur yang seharusnya sakral justru melanggar norma-norma syariat yang mereka ajarkan. Lebih parah lagi, di tingkat elite, badai politik telah mengaburkan garis independensi organisasi. Afiliasi kontroversial Ketua Umum PBNU, bahkan terkait isu sensitif seperti Israel, telah mencoreng prinsip anti-kolonialisme. Kompromi ini mencapai titik nadir ketika suara-suara progresif, seperti yang diwakili oleh Gus Ulil Abshar Abdalla, justru tampak membela kepentingan pertambangan yang seringkali berhadapan dengan rakyat kecil. Semua fenomena ini mengarah pada satu kesimpulan pahit: NU sedang menjauh dari relnya.

Maka, tulisan ini adalah seruan, sebuah ratapan dan harapan, untuk munculnya “Kiai As’ad selanjutnya,” figur yang mampu memimpin NU keluar dari badai kompromi dan kepentingan sesaat, mengembalikannya sebagai jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah sejati, dan memanggul amanah Khittah 1926 demi umat dan bangsa.

Jika ditelisik, badai yang menghantam NU saat ini datang dari tiga arah yang saling berkaitan: badai moral-spiritual, badai politik-struktural, dan badai ideologis-ekonomi.

Badai moral-spiritual muncul dari inti internal NU: dekadensi di lingkungan pesantren. Kita harus mengakui adanya musibah “gus-gus ugal-ugalan”, oknum keturunan kiai yang memanfaatkan status sosialnya sebagai perisai dari tanggung jawab moral, bahkan terjerat kasus kriminal dan pelanggaran norma syariat. Bersamaan dengan itu, institusi luhur seperti pesantren-pesantren melanggar norma syariat ketika terjadi kasus-kasus kekerasan atau pelecehan di dalamnya. Keadaan ini menciptakan krisis kepercayaan yang menguji marwah ulama dan institusi pendidikan Islam tertua itu, sekaligus memperlihatkan adanya lubang pengawasan yang serius terhadap moralitas para pemimpin muda.

Badai kedua adalah badai politik-struktural, yang mengikis independensi organisasi dari puncak kepemimpinan. Gejolak terparah muncul dari isu afiliasi Ketua Umum PBNU dengan entitas yang terkait dengan Israel. Sikap ini bukan hanya kontroversial, tetapi merupakan pengkhianatan ideologis terhadap warisan perjuangan anti-kolonialisme dan keberpihakan pada Palestina yang telah menjadi sikap khos (khas) para pendiri. Di dalam tubuh organisasi sendiri, gejolak internal PBNU tak terhindarkan. Organisasi ini dituduh telah didominasi oleh kepentingan politik dan kelompok tertentu, mengubahnya dari wadah dakwah dan kemasyarakatan menjadi kendaraan politik yang menghilangkan fokus utamanya, yaitu melayani umat.

Puncaknya, badai ketiga adalah kompromi ideologis yang mempertaruhkan keadilan sosial. Hal ini tergambar jelas dalam isu lingkungan dan ekonomi, di mana figur intelektual seperti Gus Ulil Abshar Abdalla tampak membela kepentingan pertambangan. Sikap ini berbenturan keras dengan semangat fikih lingkungan dan sejarah NU yang selalu membela kaum mustadl’afin (kaum tertindas) dari cengkeraman kapital dan penguasa. Pembelaan terhadap industri ekstraktif yang merusak lingkungan ini mengindikasikan bahwa sebagian elite NU telah menanggalkan etika amar ma’ruf nahi munkar yang berdimensi sosial.

NU hari ini benar-benar berada di tengah badai. Jika kompromi moral, politik, dan ideologis ini dibiarkan, maka lambat laun ruh dan independensi organisasi ini akan hilang, tinggal nama besar tanpa makna spiritual.

NU membutuhkan kepemimpinan yang berani menarik rem darurat dan menapaki kembali jalan lurus.

Kita merindukan munculnya “Kiai As’ad selanjutnya,” yang dicerminkan oleh ketegasan K.H. As’ad Syamsul Arifin saat membawa NU kembali ke Khittah 1926. Sosok ini bukanlah sekadar pemimpin karismatik, tetapi seorang Mursyidul Am yang memiliki tiga karakter utama: Independen dari intervensi politik dan kapital; Berakhlak dan mampu mengembalikan marwah moral kiai serta pesantren; dan Pro-Umat, berpihak tegas pada mustadl’afin dan fikih lingkungan.

Kembalinya NU pada Khittah 1926 adalah satu-satunya jalan keluar. Ini adalah janji untuk mengembalikan NU sebagai wadah perjuangan keagamaan dan kemasyarakatan murni (jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah). Badai ini mungkin terasa gelap, namun akar NU yang kuat di pesantren-pesantren dan hati kiai-kiai sepuh adalah sumber harapan abadi.

Badai akan berlalu, jika kita berani kembali ke rumah, kembali kepada Khittah.

bin Husein.

By Ibnu Husain

Santri Nurut Taqwa yang hobi ini dan itu.

Postingan terkait..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses