Oleh: Anwari Nuril H.*
Sejak kali pertama isu Full Day School (FDS) digulirkan hingga penetapan permendikbud oleh Bapak Muhadjir Effendy pada 12 Juni 2017 lalu, beberapa kalangan melakukan penolakan ‘kekeh’. Ketidak-kondusifan ini semakin runyam dg adanya anggapan semata-mata perseteruan “NU – Muhammadiyah”.
Anggapan di atas sulit terbantahkan. Pasalnya, kelompok yang getol melakukan penolakan adalah tokoh-tokoh NU. Jika demikian, lantas siapakah yang lebih tepat: Muhammadiyah (MU) atau Nahdlatul Ulama (NU)?
Hemat saya, untuk menjawabnya cukup simpel. Kita bisa melihatnya dari sisi pendekatan sejarah (historical approach), yakni dari mana kedua ormas tersebut bertolak.
Dalam catatan sejarah, Muhammadiyah lahir di perkotaan, di mana secara sosio-geografis, kota merupakan tempat bertemunya ilmu pengetahuan baru, teknologi mutakhir, ragam bangsa, serta kebudayaan baru, hatta merambatnya life style yang dianggap modern dan stylish oleh kaula muda -meski seringkali menyimpang dari jati diri bangsa. Hal tersebut berimplikasi pada dua hal: positif dan negatif. Positifnya, misalnya masyarakat kota lebih terpelajar (educated) dan lebih terbuka (open minded) terhadap kebudayaan baru. Dampak terakhir inilah, karena kebablasan, maka kemudian melahirkan implikasi negatif.
Di dunia barat, bisa dikatan bahwa kebebasan adalah segala-galanya. Satu misal adalah kebebasan berkarir bagi wanita. Di daerah perkotaan, kita sering temui ibu-ibu yang sangat menikmati karirnya hingga mereka lalai terhadap tugasnya sebagai ibu rumah tangga, merawat dan memberikan kasih sayang kepada anak-anaknya. Mereka mengira bahwa dengan bagusnya fasilitas seperti mobil, motor, laptop, gawai, dsb serta uang bejibun di ATM si anak, maka keluarga akan baik-baik saja. Tentu ini salah besar. Seorang anak lebih membutuhkan kasih sayang dan perhatian yang cukup daripada fasilitas mewah. Seorang anak membutuhkan tempat curhat dan berkeluh-kesah saat mereka mempunyai masalah di sekolah atau di teman sepermainannya. Ketika mereka tidak menjumpai orangtua di rumah, maka mereka akan mencari tempat yang dirasa membuatnya nyaman. Dan endingnya, seorang anak riskan terjerembab pada hal-hal negatif: tawuran antar pelajar, narkoba, pencurian hingga pembunuhan. Di sinilah yang menjadi keprihatinan Menteri Pendidikam dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy yang berlatar Muhammadiyah. Beliau bermaksud meminimalisir penyimpangan-penyimpangan para siswa yang berpotensi dilakukan sepulang dari sekolah.
Sementara Nahdlatul Ulama adalah organisasi yang tumbuh dan berkembang di daerah pedalaman, di mana secara sosio-kultural, organisasi ini sangat memegang kuat kebudayaan dan sejarah masa lalunya. Bagi mereka, Madrasah Diniyah adalah bagian kebudayaan ulama terdahulu serta merupakan fakta sejarah yang tidak terpisahkan dengan kemerdekaan Indonesia. Sebab, menurut mereka, sebagian kalangan pejuang kemerdekaan Indonesia adalah para santri yang belajar di madrasah diniyah.
Di samping itu, madrasah diniyah adalah lembaga sakral yang di dalamnya terjadi proses pembentukan karakter islamiy serta transmisi keilmuan lahiriyan dan bathiniyah. Maka kekhawatiran akan tergerusnya eksistensi madradah diniyah yang berujung pada penolakan permendikbud tersebut bukan tanpa dasar.
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 23 Tahun 17, sedikitnya ada 3 poin utama yang menjadi tujuan permendikbud tersebut diterbitkan, yaitu: kesiapan peserta didik terhadap arus globalisasi, penguatan karakter peserta didik, dan optimalisasi peran sekolah. Sedangkan NU ingin memelihara dan melestarikan bagian dari kebudayaan dan kemerdekaan bangsa ini. Dua ormas tersebut memiliki tujuan yang luhur. Kita tidak perlu memperkeruh keadaan dengan membela habis-habisan pendapat satu golongan dan merendahkan golongan yang lain, kecuali kita punya niatan memecah belah bangsa.
Dalam perundingan yang akan digelar oleh presiden, semoga ada jalan tengah yang bisa diambil: restorasi karakter, optimalisasi peran sekolah dan tanpa mereduksi eksistensi madrasah diniyah. Semoga…
*Penulis adalah guru sosiologi di MA Nurut Taqwa