Khoirotul Ula
(Mahasiswi Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya)
عن ابى هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : المؤمن القوي خير واحب الى الله من الؤمن الضعيف, و في كل خير . احرص على ما ينفعك واستعن بالله ولا تعجز, وإن أصابك شيء فلا تقل لو إني فعلتت كان كذا كذا. ولكن قل قدر الله وماشاء فعل. فإن “لو” تفتح عمل الشيطان. (رواه مسلم)
Artinya:
“Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah saw. bersabda: Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah swt. daripada mukmin yang lemah, bagi masing-masing memiliki keistimewaan tersendiri. Maka raihlah apa yang lebih bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allah dan janganlah melemahkan dirimu, dan jika suatu keburukan menimpamu, maka janganlah engkau mengatakan “Seandainya aku melakukan ini, mungkin akan terjadi begitu.” Akan tetapi katakanlah bahwa Allah yang mentakdirkan dan Dia berbuat sesuai dengan kehendak-Nya. Sesungguhnya “seandianya” bisa menyebabkan syetan turut andil memainkan perannya. (HR. Muslim)
Definisi ‘mukmin yang kuat’ mengandung beberapa dimensi. Secara sederhana, kekuatan yang dimiliki seorang muslim setidaknya meliputi kemapanan intelektual yang merujuk pada kualitas keilmuan, kekokohan spiritual yang menjadi kontrol atas intelektualitas, serta kekuatan perekonomian sehingga seorang mukmin mampu berdikari. Kualitas ideal ini seyogyanya dimiliki oleh setiap mukmin untuk meraih keseimbangan urusan dunia, agama dan akhirat.
Pada dasarnya seluruh umat muslim mendambakan kekuatan intelektual, spiritual maupun ekonomi melekat pada diri mereka. Namun realitanya tidak semua mukmin berada pada kondisi yang demikian. Pasalnya untuk mencapai status mukmin ideal tersebut dibutuhkan keistikamahan dan keteguhan hati. Sementara fakta di lapangan menunjukkan bahwa kebanyakan dari kita gagal menjaga idealisme (istikamah) dan menganggapnya sebagai kelemahan. Meskipun demikian, kelemahan seorang mukmin bukan merupakan aib selagi kelemahan tersebut tidak dijadikan sebagai alasan untuk berhenti berjuang, sebagaimana firman Allah swt. dalam surat an-Nisa’ ayat 97-98 tentang ancaman bagi orang yang sengaja menyebut diri lemah agar tidak dikenai kewajiban.
Kendati demikian, orang yang benar-benar berada dalam kondisi lemah, sangat tidak etis diposisikan sebagai kelompok yang menganiaya diri sendiri karena dianggap telah melemahkan diri. Bagaimanapun orang-orang yang lemah (mustadl’afin) akan senantiasa dicintai oleh Allah swt, bahkan jika mereka terzalimi -tanpa diminta pun– Allah sendiri akan membalas atas kezaliman yang mereka terima.
Sungguhpun seseorang mengalami suatu keadaan yang melemahkan diri, maka janganlah melihat kelemahan itu secara negatif, namun hendaknya kita mengambil hikmah kebaikan dari setiap peristiwa yang terjadi meski hal tersebut sangat menguras emosi, karena perasaan melemahkan diri yang berlebihan dapat mengarahkan kepada keputusasaan, sementara keputusasaan merupakan bagian dari tipu daya setan.
Satu-satunya cara untuk mengeluarkan kita dari kondisi lemah itu adalah memohon pertolongan Allah dengan ikhlas dan selalu berusaha untuk bangkit dari keterpurukan sembari tetap yakin bahwa pertolongan Allah pasti datang. Sebagaimana Allah swt menjanjikan bahwa akan selalu ada kemudahan di setiap kesulitan dan siapapun yang meminta pertolongan pasti akan dikabulkan. Selain itu berpasrah diri kepada Allah (tawakal) yang disertai usaha dan doa menjadi sumber kekuatan bagi setiap mukmin untuk tetap teguh, kuat dan tegar dalam menghadapi setiap tantangan hidup.
Ala kulli hal, Allah menghendaki segala sesuatu, Dialah yang menguatkan yang lemah dan melemahkan yang kuat sesuai kehendakNya. Dan tiap-tiap dari kita dipertimbangkan disisi-Nya karena rahmat-Nya.