Kam. Nov 20th, 2025

Hari Pahlawan: Memoar Kisah Heroik Kiai dan Santri ala Zainul Milal Bizawie

Pagi ini, sambil menyeruput kopi hangat yang mengepul, saya iseng membuka kembali halaman-halaman buku karya sejarawan Zainul Milal Bizawie. Selama ini, ingatan kolektif kita selalu menempatkan Hari Pahlawan, 10 November, sebagai puncak keberanian rakyat Surabaya melawan ultimatum dan agresi tentara Sekutu. Namun, Bizawie, melalui karyanya yang monumental, “Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad”, mengajak kita melihat lapisan sejarah yang lebih dalam.

Bizawie menawarkan perspektif kritis: pertempuran heroik di Kota Pahlawan tersebut sesungguhnya adalah respons langsung terhadap dikeluarkannya Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Dokumen bersejarah yang dikeluarkan oleh para Kiai di markas besar Nahdlatul Ulama (NU) ini bukan sekadar seruan moral, tetapi penegasan bahwa membela Tanah Air dari penjajah adalah kewajiban agama (fardhu ‘ain). Fatwa ini secara efektif mengubah arena perjuangan menjadi medan jihad fī sabīlillāh, menjadikan para santri sebagai ujung tombak perlawanan yang tak kenal gentar. Membaca kisah-kisah di dalamnya, saya sadar betapa seringnya peran heroik Kiai dan Santri ini luput dari buku-buku sejarah yang saya pelajari.

Kisah kepahlawanan 10 November berakar kuat pada situasi genting yang mendahuluinya. Setelah Proklamasi Kemerdekaan, masuknya kembali tentara Sekutu yang diboncengi oleh Nederlandsch Indië Civiele Administratie (NICA) menciptakan ancaman besar. Menyadari perlunya landasan moral dan spiritual yang kokoh untuk menghadapi invasi ini, pimpinan nasional meminta fatwa kepada ulama.

Pada 21–22 Oktober 1945, ulama dari seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya, menghasilkan Resolusi Jihad yang ditandatangani oleh KH Hasyim Asy’ari. Bizawie menegaskan bahwa inilah “komando perang” paling efektif. Isi utamanya sangat jelas dan mengikat: hukum memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan Indonesia adalah fardhu ‘ain bagi setiap muslim yang berada dalam jarak tempur musuh, dan mereka yang tewas adalah syuhada (mati syahid).

Fatwa ini seketika mengubah psikologi perang rakyat. Membela negara tidak lagi hanya urusan patriotisme, melainkan kewajiban agama yang mutlak. Hanya dalam hitungan hari, seruan ini menyebar ke seluruh pesantren, memobilisasi ribuan santri yang berbondong-bondong menuju Surabaya, siap menghadapi musuh.

Perintah jihad tersebut segera diimplementasikan di lapangan melalui mobilisasi dua laskar utama: Laskar Hizbullah (pasukan tempur pemuda) dan Laskar Sabilillah (pasukan volunteer Kiai dan pejuang yang lebih senior).Milal Bizawie banyak merekam kisah ketangguhan para pejuang santri ini. Mereka adalah pasukan yang minim logistik, bermodal bambu runcing seadanya, namun memiliki semangat keimanan yang membara, tak tertandingi oleh persenjataan modern Sekutu. Salah satu momen krusial yang diangkat adalah pengepungan dan penyerangan yang berujung pada tewasnya Brigjen AWS Mallaby, komandan Brigade 49 Divisi India. Menurut kesaksian yang dihimpun Bizawie, santri dan laskar Hizbullah adalah pihak yang paling agresif dalam insiden di Jembatan Merah. Kematian Mallaby pada 30 Oktober 1945 inilah yang menjadi pemicu kemarahan Sekutu dan ultimatumnya, yang dijawab rakyat Surabaya dengan perlawanan total pada 10 November.

Peran Kiai dan Santri tidak hanya terbatas pada garis depan. Para Kiai di barisan Sabilillah berfungsi sebagai pemimpin spiritual dan moral, menjamin moral juang para santri tetap tinggi melalui doa dan wirid. Kisah tentang keberanian yang didasari keyakinan spiritual, bahkan cerita kebal senjata, menjadi bagian tak terpisahkan dari memoar pertempuran ini, menunjukkan bagaimana dimensi keagamaan menyatu sepenuhnya dalam perjuangan fisik melawan penjajah.

Milal Bizawie mengingatkan kita bahwa Hari Pahlawan bukan semata-mata milik narasi nasionalis tunggal. Ia juga merupakan perayaan atas kontribusi tak terhindarkan dari Islam, ulama, dan santri dalam mendirikan dan mempertahankan Republik Indonesia. Resolusi Jihad adalah titik nol pertempuran 10 November. Tanpa fatwa suci tersebut, mobilisasi massa dengan intensitas dan keberanian seperti yang terjadi di Surabaya mustahil terlaksana. Dengan meresapi memoar kisah heroik Kiai dan Santri, kita tidak hanya menghormati para pahlawan yang gugur, tetapi juga menegaskan kembali peran sentral mereka dalam sejarah bangsa, agar generasi mendatang memahami bahwa semangat jihad untuk mempertahankan kemerdekaan adalah salah satu pilar utama yang menyangga Negara Kesatuan Republik Indonesia.

By Ibnu Husain

Santri Nurut Taqwa yang hobi ini dan itu.

Postingan terkait..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses